Senin, 07 November 2016

RENDAHNYA MINAT SISWA BELAJAR MATEMATIKA

"RENDAHNYA MINAT SISWA BELAJAR MATEMATIKA"



Salah satu aspek pendidikan yang memiliki peran penting dalam peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas adalah pendidikan matematika. Standar kompetensi mata pelajaran matematika adalah siswa memiliki kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta mempunyai kemampuan bekerjasama (Depdiknas, 2007).  Artinya, siswadiharapkan memiliki kemampuan mengumpulkan informasi, mengolah infomasi, dan memanfaatkan semua infomasi untuk dikembangkan dalam diri siswa tersebut. Selain itu, siswa juga diharapkan dapat menerapkan atau menggunakan pelajaran matematika dalam kelas dikehidupan sehari-hari siswa tersebut serta dapat menggunakan kemampuan matematika dalam belajar pengetahuan lain. Selanjutnya dengan belajar matematika diharapkan pula siswa memperoleh kemampuan bernalar yang tercermin melalui kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama, sehingga siswa dapat memanfaatkannya untuk penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Peran matematika yang begitu besar dalam kehidupan pada umumnya tidak diimbangi dengan besarnya minat siswa untuk belajar matematika. Sebagian besar siswa masih mengaggap pelajaran matematika sebagai mata pelajaran yang menakutkan dan membosankan. Siswa merasakan bahwa materi matematika sebagai beban yang harus mereka ingat dan hafal serta mereka tidak merasakan maknanya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selain materi yang dirasakan sebagai beban, siswa terkadang mengalami kebingungan dalam menggunakan rumus matematika saat menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru. Kebingungan ini menyebabkan siswa menjadi malas dalam belajar matematika. Selain masalah di atas, secara umum penyebab kurangnya minat siswa dalam belajar matematika adalah: (1) Guru lebih banyak ceramah, (2) Media pembelajaran belum dimanfaatkan, (3) Pengelolaan pembelajaran cenderung klasikal dan kegiatan belajar kurang bervariasi, (4) Guru dan buku sebagai sumber belajar, (5) Kemampuan semua peserta didik dianggap sama, (6) Penilaian berupa test, serta latihan dan tugas-tugas yang diberikan kurang menantang, dan (7) interaksi pembelajaran dilakukan searah (Asikin, 2002).
Sejalan dengan pendapat Asikin, Sagala (2009) menyatakan bahwa pembelajaran yang berlangsung di sekolah cenderung menunjukkan (1) siswa kurang aktif dalam mencari dan menemukan informasi, (2) alat peraga belum dimanfaatkan secara optimal oleg guru, (3) pengelolaan pembelajaraan cenderung klasikal dan kegiatan belajar yang kurang bervariasi, (4) latihan dan tugas-tugas yang diberikan kurang menantang, dan (5) pembelajaran lebih banyak berorientasi pada guru sehingga aktivitas siswa masih kurang. Dalam konteks pendidikan, pembelajaran seperti di atas secara umum kurang sesuai jika digunakan untuk pembelajaran matematika, karena konsep-konsep yang terkandung dalam matematika memiliki tingkat abstraksi yang tinggi. Dengan pembelajaran seperti di atas, siswa tidak aktif dalam menemukan dan mengkonstruksikan sendiri ide matematika yang mereka dapat berdasarkan pengalaman mereka dalam kehidupan nyata. Proses pembelajaran seperti ini menyebabkan pembelajaran matematika kurang bermakna karena dalam pembelajarannya siswa belum terlibat secara aktif dalam menemuka konsep-konsep yang sedang dipelajari. Hal ini membuat siswa menjadi jenuh belajar matematika dan menyebabkan hasil belajar siswa menjadi rendah. Dari situasi seperti di atas, mengindikasikan perlunya diterapkan sebuah model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan kegiatan pembelajaran sehingga hasil belajar matematika siswa tercapai secara optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar